MEMAHAMI FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA,
SEBUAH CARA UNTUK MENANAMKAN NILAI
KARAKTER KEPADA SISWA
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan
filsafat pendidikan adalah memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan
proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan
pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh
filsafat pendidikan. Proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa
implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna
mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Sebagai pemberi inspirasi, filsafat pendidikan menyatakan tujuan pendidikan
negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan
pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan
menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai
konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar
materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada
diri peserta didik.
Matematika
merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan di seluruh dunia.
Negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama akan
tertinggal dari kemajuan segala bidang dibandingkan negara yang memberikan
tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting. Filsafat pengetahuan
memiliki kedudukan yang tugasnya menyoroti gejala pengetahuan manusia
berdasarkan sudut sebab musabab. Pokok-pokok bahasan apakah suatu pengetahuan
itu benar dan tetap dan terpercaya, tidak berubah atau malah berubah-ubah terus,
bergerak dan berkembang. Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya
terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas
kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian
filsafat adalah logika atau daya pikir manusia.
Di Indonesia, tujuan pendidikan nasional tercantum pada Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa,
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Dalam
tujuan pendidikan nasional itu jelas tercantum nilai-nilai karakter yang harus
ditanamkan sebagai bagian terintegrasi dalam pembelajaran. Termasuk di
dalamnya, tentu saja dalam pembelajaran matematika. Namun demikian, banyak guru
yang belum secara optimal menekankan nilai-nilai karakter tersebut kepada
siswanya selama pembelajaran. Salah satu alasannya, guru tersebut belum
memahami bagaimana pembentukan karakter bisa dilakukan dalam pembelajaran
matematika.
Pemahaman
guru matematika mengenai filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan
matematika diharapkan dapat membantu mereka dalam menemukan gagasan dalam
penekanan nilai-nilai karakter kepada siswa dan selanjutnya melakukannya selama
pembelajaran secara cermat dan kontinu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Filsafat Pendidikan Masa
Yunani Kuno
Dalam
sejarah filsafat, nama Socrates (470-399 SM) muncul sebagai pemikir besar yang gagasan-gagasan
filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukan untuk mempengaruhi secara
mendalam dan abadi terhadap teori dan praktik pendidikan diseluruh dunia Barat (Smith,
1986). Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah metode
dialektis, yang direncanakan untuk mendorong seseorang belajar untuk berpikir
secara cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya.
Tujuan
pendidikan yang benar menurut Socrates adalah untuk merangsang penalaran yang
cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang
terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith, 1986). Dengan menggunakan
metode mengajar yang dialektis, Socrates menunjukkan bahwa jawaban-jawaban
terbaik atas pertanyaan moral adalah cita-cita yang melekat pada Ketuhanan,
cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan
kejahatan, hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan
hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan segala kebajikan. Dalam
pendidikan Socrates mengemukakan sistem atau cara berpikir yang bersifat
induksi, yaitu menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari
banyak pengetahuan tentang hal khusus.
Selain
Socrates, Plato juga berkontribusi besar dalam pembentukan filsafat pendidikan.
Menurut Plato, di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang
paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus. Bahkan, pendidikan
adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh
negara. Pendidikan sebenarnya suatu tindakan pembebasan dari belengggu
ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan
mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula,
orang-orang akan mengenal apa yang balk dan apa yang jahat, dan juga akan
menyadari apa patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari
semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again) (Rapar, 1988:
110).
Aristoteles
adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelektual terkemuka,
mungkin sepanjang masa. Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka
ia harus mendapatkan pendidikan. Aristoteles juga menganggap penting pula
pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah. Pada tingkat pendidikan
usia muda itu perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Menurut
Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan manusia harus lebih dari
binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati
dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-fungsi organisms
itu, dan segala yang ada dalam alam. Oleh karena itu prinsip pokok pendidikan
menurut Aristoteles adalah pengumpulan serta penelitian fakta-fakta suatu
belajar induktif, suatu pencarian yang obyektif akan kebenaran sebagai dasar
dari semua ilmu pengetahuan. Ariestoteles berkata bahwa sebaiknya memberikan
pendidikan yang baik bagi semua anak-anak.
2.2 Aliran-Aliran Filsafat
Pendidikan
Beberapa aliran
filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan antara lain idealisme,
realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme
berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya
pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan
aliran ini membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa
hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya
membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki
rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat
dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme.
Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan
arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat
untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme
berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk
aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham
behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus
dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan
behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku.
Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya,
mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut
paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu
mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain
melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki
seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan
berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
Filsafat
pendidikan merupakan salah satu penerapan dari filsafat umum. Filsafat
pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan
hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang
realitas, pengetahuan, dan nilai. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan
dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat
pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak
aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat
pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” yang
didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan filsafat pendidikan “konservatif”
yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional),
dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut terdiri
atas aliran-aliran filsafat pendidikan, antara lain sebagai berikut.
1. Filsafat
Pendidikan Idealisme
Aliran ini memandang bahwa realitas
akhir adalah roh, bukan materi, dan bukan pula fisik. Pengetahuan yang
diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini
memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan
baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke
generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Plato, Elea dan Hegel, Imanuael Kant, David Hume, dan Al Ghazali.
2. Filsafat
Pendidikan Realisme
Aliran ini merupakan filsafat yang
memandang realitas secara dualistis. Realisme berpendapat bahwa hakekat
realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas
menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak
dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat
dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme:
Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke,
Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
3. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Aliran ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya
berpangkal pada filsafat empirisme Inggris yang berpendapat bahwa manusia dapat
mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini
adalah Charles Sandre Peirce, Wiliam James, John Dewey, dan Heracleitos.
4. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Aliran ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara
umum, eksistensialisme menekankan pada pilihan kreatif, subjektivitas
pengalaman manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap
skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran
ini antara lain adalah Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin
Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, dan Paul Tillich.
5. Filsafat
Pendidikan Progresivisme
Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan
yang benar pada masa kini mungkin tidaklah benar di masa mendatang. Pendidikan
harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah George Axtelle, William O. Stanley,
Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, dan Frederick C. Neff.
6. Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat
pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada
trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan
progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum
muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah William C. Bagley, Thomas Briggs,
Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
7. Filsafat
Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan
yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi
terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah
Robert Maynard Hutchins dan Ortimer Adler.
8. Filsafat
Pendidikan rekonstruksionisme
Aliran ini merupakan kelanjutan dari
gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa
kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count
dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat
yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah Caroline Pratt,
George Count, dan Harold Rugg.
2.3 Filsafat
dalam Pendidikan Matematika
Filsafat Ilmu Pendidikan
Matematika adalah filsafat yang menelusuri dan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan
matematika yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara, dan
hasilnya. Selain itu, juga terhadap
hakikat ilmu yang berkaitan dengan analisis kritis terhadap struktur dan
kegunaannya, tanpa melupakan metodenya.
Prof. Dr. Maman
A. Djauhari, guru besar ITB, mengatakan bahwa “tanpa filsafat, pendidikan
matematika menjadi lemah”. Hal ini merupakan akibat tidak diajarkannya filsafat
atau latar belakang ilmu matematika. Dampaknya, siswa, bahkan mahasiswa, pandai
mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika
hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk
diselesaikan atau dicari jawabannya. Karena tidak menyampaikan filsafat
matematika, ke depan Indonesia
masih tetap sebagai bangsa yang hanya sebagai pengguna ilmu, bukan penemu ilmu.
”Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena memang pola pendidikan kita mulai
dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tidak diposisikan sebagai orang
yang disiapkan untuk menjadi penemu ilmu. Siswa dan mahasiswa lebih diposisikan
sebagai pengguna ilmu. Akibatnya, sering ditemui siswa atau mahasiswa tidak
mampu memberikan penjelasan atau interpretasi terhadap sebuah soal dalam
matematika. Misalnya, para siswa SMA dan mahasiswa akan dengan mudah dan
dipastikan benar, manakala diminta untuk mengerjakan soal determinan sebuah matriks.
Tapi ketika ditanya lebih lanjut apa makna dan pengertian dari determinan yang
telah dikerjakannya itu, hampir dapat dipastikan, tidak ada yang mengerti. Inilah
problem dasar pada pendidikan matematika kita di Indonesia . Siswa atau mahasiswa
tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Saat mengajar, para
guru dan dosen diharapkan melengkapi dengan berbagai penjelasan dan latar
belakang terhadap sebuah rumus yang telah diyakininya itu, sebagai sebuah
pengetahuan filsafat.
2.3 Penanaman
Nilai Karakter Melalui Filsafat Pendidikan Matematika
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari
format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan
manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut
pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pendidikan. John Dewey sebagai salah seorang tokoh
pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan
partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam
jalannya proses pendidikan.
Pendidikan
partisipatif yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan
peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para
peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif, bukan hanya
mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru tanpa mengetahui apakah yang
diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik
lebih berperan sebagai fasilitator, sedangkan keaktifan lebih dibebankan kepada
peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara
mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa
dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreativitas.
Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme,
dan kemerdekaan peserta didik. Dengan keaktifannya ini, siswa dapat memperoleh
nilai-nilai baik yang diperlukan. Misalnya, sopan santun dalam komunikasi,
menghargai oran g
lain, jujur, serta bertanggung jawab.
Penanaman
karakter ini dapat dilakukan dengan lebih baik oleh guru yang memiliki
pemahaman filsafat pendidikan lebih dalam. Dengan memahami filsafat, khususnya filsafat
pendidikan, guru dapat memahami cara berpikir serta karakter spesifik dari
siswanya.
BAB III
SIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah dikemukakan pada makalah ini, kiranya penulis dapat
menyimpulkan hal-hal berikut ini.
1. Karena beragamnya aliran
filsafat, maka terdapat banyak juga aliran filsafat pendidikan. Masing-masing
aliran memiliki ciri khasnya tersendiri dengan dukungan tokoh-tokoh tertentu.
2. Tujuan
pendidikan nasional menuntut terbentuknya nilai-nilai karakter pada siswa
setelah proses pembelajaran. Untuk dapat menanamkan nilai-nilai karakter pada
siswa, hendaknya guru memahami hakikat, latar belakang, dan tujuan dari subjek
yang diajarkannya. Hal ini dapat dilakukan jika guru memahami filsafat
pendidikan, khususnya filsafat pendidikan matematika.
3. Dalam
ruang lingkup yang lebih luas, pemahaman filsafat pendidikan matematika dapat
memperkuat struktur pendidikan matematika itu sendiri. Dengan ini, pengajaran
matematika tidak hanya memuat kumpulan pengetahuan, tetapi juga mengandung
penjelasan di balik pengetahuan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib (1994). Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta : IKIP.
Smith, S. (1986). Gagasan Tokoh-tokoh Bidang Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional