Minggu, 11 November 2012


MEMAHAMI FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA,
SEBUAH CARA UNTUK MENANAMKAN NILAI  
KARAKTER KEPADA SISWA


BAB I
PENDAHULUAN

               Salah satu tujuan filsafat pendidikan adalah memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Sebagai pemberi inspirasi, filsafat pendidikan menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
            Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan di seluruh dunia. Negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama akan tertinggal dari kemajuan segala bidang dibandingkan negara yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting. Filsafat pengetahuan memiliki kedudukan yang tugasnya menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab musabab. Pokok-pokok bahasan apakah suatu pengetahuan itu benar dan tetap dan terpercaya, tidak berubah atau malah berubah-ubah terus, bergerak dan berkembang. Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia.
              Di Indonesia, tujuan pendidikan nasional tercantum pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
          Dalam tujuan pendidikan nasional itu jelas tercantum nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan sebagai bagian terintegrasi dalam pembelajaran. Termasuk di dalamnya, tentu saja dalam pembelajaran matematika. Namun demikian, banyak guru yang belum secara optimal menekankan nilai-nilai karakter tersebut kepada siswanya selama pembelajaran. Salah satu alasannya, guru tersebut belum memahami bagaimana pembentukan karakter bisa dilakukan dalam pembelajaran matematika.
            Pemahaman guru matematika mengenai filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan matematika diharapkan dapat membantu mereka dalam menemukan gagasan dalam penekanan nilai-nilai karakter kepada siswa dan selanjutnya melakukannya selama pembelajaran secara cermat dan kontinu.
             
   BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Sejarah Filsafat Pendidikan Masa Yunani Kuno
              Dalam sejarah filsafat, nama Socrates (470-399 SM) muncul sebagai pemikir besar yang gagasan-gagasan filosofisnya dan metode pengajarannya ditunjukan untuk mempengaruhi secara mendalam dan abadi terhadap teori dan praktik pendidikan diseluruh dunia Barat (Smith, 1986). Adapun prinsip-prinsip dasar pendidikan menurut Socrates adalah metode dialektis, yang direncanakan untuk mendorong seseorang belajar untuk berpikir secara cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya.
              Tujuan pendidikan yang benar menurut Socrates adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi (Smith, 1986). Dengan menggunakan metode mengajar yang dialektis, Socrates menunjukkan bahwa jawaban-jawaban terbaik atas pertanyaan moral adalah cita-cita yang melekat pada Ketuhanan, cinta pada umat manusia, keadilan, keberanian, pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan, hormat terhadap kebenaran, sikap yang tak berlebih-lebihan, kebaikan hati, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan segala kebajikan. Dalam pendidikan Socrates mengemukakan sistem atau cara berpikir yang bersifat induksi, yaitu menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus.
              Selain Socrates, Plato juga berkontribusi besar dalam pembentukan filsafat pendidikan. Menurut Plato, di dalam negara idealnya pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapat perhatian yang paling khusus. Bahkan, pendidikan adalah tugas dan panggilan yang sangat mulia yang harus diselenggarakan oleh negara. Pendidikan sebenarnya suatu tindakan pembebasan dari belengggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang balk dan apa yang jahat, dan juga akan menyadari apa patut dan apa yang tidak patut, dan yang paling dominan dari semua itu adalah bahwa pendidikan mereka akan lahir kembali (they shall be born again) (Rapar, 1988: 110).
              Aristoteles adalah murid Plato. Dia adalah seorang cendekiawan dan intelektual terkemuka, mungkin sepanjang masa. Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup baik, maka ia harus mendapatkan pendidikan. Aristoteles juga menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah. Pada tingkat pendidikan usia muda itu perlu ditanamkan kesadaran aturan-aturan moral. Menurut Aristoteles untuk memperoleh pengetahuan manusia harus lebih dari binatang-binatang lain berdasarkan kekuatannya untuk berpikir, harus mengamati dan secara hati-hati menganalisa struktur-struktur, fungsi-fungsi organisms itu, dan segala yang ada dalam alam. Oleh karena itu prinsip pokok pendidikan menurut Aristoteles adalah pengumpulan serta penelitian fakta-fakta suatu belajar induktif, suatu pencarian yang obyektif akan kebenaran sebagai dasar dari semua ilmu pengetahuan. Ariestoteles berkata bahwa sebaiknya memberikan pendidikan yang baik bagi semua anak-anak.

2.2   Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
              Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan antara lain idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
              Filsafat pendidikan merupakan salah satu penerapan dari filsafat umum. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” yang didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan filsafat pendidikan “konservatif” yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut terdiri atas aliran-aliran filsafat pendidikan, antara lain sebagai berikut.
1.     Filsafat Pendidikan Idealisme
        Aliran ini memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, dan bukan pula fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Plato, Elea dan Hegel, Imanuael Kant, David Hume, dan Al Ghazali.
2.     Filsafat Pendidikan Realisme
        Aliran ini merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualistis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, dan John Stuart Mill.
3.     Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Aliran ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah Charles Sandre Peirce, Wiliam James, John Dewey, dan Heracleitos.
4.     Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Aliran ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pada pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, dan Paul Tillich.
5.     Filsafat Pendidikan Progresivisme
        Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidaklah benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, dan Frederick C. Neff.
6.     Filsafat Pendidikan Esensialisme
        Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
7.     Filsafat Pendidikan Perenialisme
        Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah Robert Maynard Hutchins dan Ortimer Adler.
8.     Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
     Aliran ini merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini adalah Caroline Pratt, George Count, dan Harold Rugg.

2.3   Filsafat dalam Pendidikan Matematika
          Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika adalah filsafat yang menelusuri dan menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan matematika yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara, dan hasilnya. Selain itu, juga terhadap  hakikat ilmu yang berkaitan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya, tanpa melupakan metodenya.
              Prof. Dr. Maman A. Djauhari, guru besar ITB, mengatakan bahwa “tanpa filsafat, pendidikan matematika menjadi lemah”. Hal ini merupakan akibat tidak diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu matematika. Dampaknya, siswa, bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari jawabannya. Karena tidak menyampaikan filsafat matematika, ke depan Indonesia masih tetap sebagai bangsa yang hanya sebagai pengguna ilmu, bukan penemu ilmu. ”Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena memang pola pendidikan kita mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tidak diposisikan sebagai orang yang disiapkan untuk menjadi penemu ilmu. Siswa dan mahasiswa lebih diposisikan sebagai pengguna ilmu. Akibatnya, sering ditemui siswa atau mahasiswa tidak mampu memberikan penjelasan atau interpretasi terhadap sebuah soal dalam matematika. Misalnya, para siswa SMA dan mahasiswa akan dengan mudah dan dipastikan benar, manakala diminta untuk mengerjakan soal determinan sebuah matriks. Tapi ketika ditanya lebih lanjut apa makna dan pengertian dari determinan yang telah dikerjakannya itu, hampir dapat dipastikan, tidak ada yang mengerti. Inilah problem dasar pada pendidikan matematika kita di Indonesia. Siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Saat mengajar, para guru dan dosen diharapkan melengkapi dengan berbagai penjelasan dan latar belakang terhadap sebuah rumus yang telah diyakininya itu, sebagai sebuah pengetahuan filsafat.
             
2.3   Penanaman Nilai Karakter Melalui Filsafat Pendidikan Matematika
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan. John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan.
Pendidikan partisipatif yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif, bukan hanya mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk. Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai fasilitator, sedangkan keaktifan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreativitas. Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan keaktifannya ini, siswa dapat memperoleh nilai-nilai baik yang diperlukan. Misalnya, sopan santun dalam komunikasi, menghargai orang lain, jujur, serta bertanggung jawab.
Penanaman karakter ini dapat dilakukan dengan lebih baik oleh guru yang memiliki pemahaman filsafat pendidikan lebih dalam. Dengan memahami filsafat, khususnya filsafat pendidikan, guru dapat memahami cara berpikir serta karakter spesifik dari siswanya.

BAB III
SIMPULAN
             
              Dari pembahasan yang telah dikemukakan pada makalah ini, kiranya penulis dapat menyimpulkan hal-hal berikut ini.
1.     Karena beragamnya aliran filsafat, maka terdapat banyak juga aliran filsafat pendidikan. Masing-masing aliran memiliki ciri khasnya tersendiri dengan dukungan tokoh-tokoh tertentu.
2.  Tujuan pendidikan nasional menuntut terbentuknya nilai-nilai karakter pada siswa setelah proses pembelajaran. Untuk dapat menanamkan nilai-nilai karakter pada siswa, hendaknya guru memahami hakikat, latar belakang, dan tujuan dari subjek yang diajarkannya. Hal ini dapat dilakukan jika guru memahami filsafat pendidikan, khususnya filsafat pendidikan matematika.
3.   Dalam ruang lingkup yang lebih luas, pemahaman filsafat pendidikan matematika dapat memperkuat struktur pendidikan matematika itu sendiri. Dengan ini, pengajaran matematika tidak hanya memuat kumpulan pengetahuan, tetapi juga mengandung penjelasan di balik pengetahuan itu.


 DAFTAR PUSTAKA

Barnadib (1994). Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: IKIP.


Smith, S. (1986). Gagasan Tokoh-tokoh Bidang Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 


Minggu, 30 September 2012

Telaah Aliran-Aliran Filsafat dan Perkembangannya



TELAAH ALIRAN–ALIRAN FILSAFAT
DAN PERKEMBANGANNYA

            Kata filsafat diambil dari bahasa Arab, Falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, yang terdiri atas Philos (yang berarti cinta atau suka) dan shopia (yang berarti bijaksana). Jadi, secara etimologis, filsafat berarti cinta kebijaksanaan (Poedjawijatna, 1974:1 dalam Tafsir, 2012:9). Sedangkan secara terminologis, filsafat memiliki arti dan batasan yang beragam. Berikut beberapa di antaranya.
§         Plato (427–347 SM), seorang filsuf Yunani, mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang abadi.
§         Aristoteles (381–322 SM), merupakan murid Plato, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran dan mengandung ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
§         Marcus Tullius Cicero (106–43 SM), seorang politikus Romawi, merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang suatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
§         Al-Farabi, seorang filsuf Muslim, menyebut filsafat sebagai ilmu pengetahuan alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
§         Immanuel Kant, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yakni:
(1)       “Apakah yang dapat kita ketahui?”. yang dijawab dengan metafisika.
(2)       “Apakah yang boleh kita kerjakan?”, yang dijawab dengan etika.
(3)       “Sampai di manakah pengharapan kita”, yang dijawab dengan agama.
(4)       “Apakah manusia itu”, yang dijawab dengan antropologi.
              Dalam perkembangannya, filsafat memiliki berbagai aliran yang berbeda-beda dari sisi pemaknaan, sudut pandang, dan cara untuk melaksanakan konsepnya. Aliran ini juga muncul berdasarkan kebutuhan atau sebagai respon terhadap aliran yang telah ada. Masing-masing aliran memiliki tokoh yang menyumbangkan buah pikirannya dalam membentuk warna dan karakter tiap aliran. Beberapa aliran filsafat yang dikenal antara lain sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

A.    Rasionalisme
              Aliran filsafat rasionalisme berpandangan bahwa rasio adalah sumber dari segala pengetahuan. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengannya dapat dibangun ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama, yakni substansi dan hubungan jiwa dan tubuh (K. Bertens, dalam Praja, 2010: 91).
              Pelopor aliran rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650), yang merupakan tokoh utama filsafat abad modern. Menurut Descartes, agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui, diperlukan suatu metode yang baik. Descartes memulai metodenya dengan meragu-ragukan segala pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melakukan keragu-raguan. Ia menegaskan bahwa ia dapat saja meragukan segala hal, namun satu hal yang tidak mungkin diragukanya adalah kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Maka ia sampai pada kebenaran yang tidak terbantahkan, yakni saya berpikir, maka saya ada (cogito ergo sum). Pernyatan ini begitu kokoh dan menyakinkan sehingga anggapan kaum skeptik (kaum ragu-ragu) yang paling ekstrim pun tidak akan mampu menggoyahkannya. Cogito ergo sum ini oleh Descartes diterima sebagai prinsip pertama dari filsafat.
              Benih rasionalisme sebenarnya sudah ada sejak jaman Yunani kuno. Salah satu tokohnya, Socrates, mengajukan sebuah proposisi yang terkenal bahwa sebelum manusia memahami dunia ia harus memahami dirinya sendiri. Kunci untuk memahami dirinya itu adalah kekuatan rasio. Para pemikir rasionalisme berpandangan bahwa tugas dari para filosof diantaranya adalah membuang pikiran irasional dengan rasional. Pandangan ini misalnya didukung oleh Descartes yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya didapat dengan menggunakan rasio. Tokoh lain, Baruch Spinoza secara lebih berani bahkan mengatakan: “God exists only philosophically” (Calhoun, 2002 dalam Hatmanto, 2012).
              Sumbangan rasionalisme terlihat dalam membangun ilmu pengetahuan modern yang didasarkan pada kekuatan pikiran atau rasio manusia. Hasil-hasil teknologi era industri dan era informasi tidak dapat dilepaskan dari andil rasionalisme untuk mendorong manusia menggunakan akal pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia (Hatmanto, 2012).
              Setelah Descartes, tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan filsafat rasionalisme antara lain sebagai berikut.
1.     Nicolas Malerbranche (1638-1775), berusaha mendamaikan filsafat Descartes dengan tradisi pemikiran Kristiani, khususnya pemikiran Agustinus. Ia berpendapat bahwa jiwa tidak dapat mempengaruhi tubuh dan sebaliknya.
2.     De Spinoza (1632-1677), menyebutkan hanya ada satu substansi yang meliputi dunia dan manusia. Satu substansi itu memiliki tak terhingga banyaknya ciri.
3.     Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), seorang Jerman yang menyebutkan bahwa substansi itu jumlahnya tak berhingga dan dinamakan monade yang diangga tertutup.
4.     Christian Wolff (1679-1754), menyadur filsafat Leibniz serta menyusunnya menjadi satu sistem dengan banyak menggunakan sistem skolastik. Karenanya rasionalisme di Jerman berkembang di semua universitas.
5.     Blaise Pascal (1623-1662), yang sepakat dengan Descartes dalam hal mementingkan ilmu pasti tetapi tidak sepakat dalam hal menerima ilmu pasti tersebut sebagai suatu model atau contoh. Menurutnya, manusia dianggap misteri dan lebih penting daripada rasio adalah hati.

B.    Empirisme
              Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme, pengetahuan bukan hanya didasarkan pada rasio belaka. Empirisme merupakan paham yang menempatkan pengalaman sebagai sumber utama pengenalan.
              Tokoh penting dalam aliran empirisme antara lain Thomas Hobbes (1588-1679). Ia menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan konsep mekanik dari alam fisika. Menurutnya, pengalaman merupakan awal segala pengenalan dan pengenalan intelektual adalah penggabungan data-data inderawi. Karya utamanya adalah Leviathan (1651) yang mengekspresikan pandangannya mengenai alam, manusia, dan masyarakat.
              Empirisme merupakan sebuah orientasi filsafat yang berhubungan dengan kemunculan ilmu pengetahuan modern dan metode ilmiah. Empirisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas pada apa yang dapat diamati dan diuji. Oleh karena itu, aliran empirisme memiliki sifat kritis terhadap abstraksi dan spekulasi dalam membangun dan memperoleh ilmu. Strategi utama pemerolehan ilmu, dengan demikian, dilakukan dengan penerapan metode ilmiah. Para ilmuwan berkebangsaan Inggris seperti John Locke, George Berkeley dan David Hume adalah pendiri utama tradisi empirisme (Calhoun, 2002 dalam Hatmanto, 2012).
              John Locke (1632-1704) memiliki pandangan bahwa rasio manusia mula-mula harus dianggap lembaran kertas putih dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. George Berkeley (1665-1753) merupakan seorang uskup yang berpendapat bahwa tidak ada substansi material, yang ada hanyalah pengalaman dalam ruh. David Hume (1711-1776) dianggap puncak empirisme karena dia menggunakan prinsip-prinsip empirisme dengan cara yang radikal.  
              Sumbangan utama dari aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu alam (Hatmanto, 2012).
             
C.    Kritisisme
              Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasio merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalaman menjadi sumber tersebut. Tokoh utama Kritisisme adalah Immanuel Kant (1724-1804 M) yang melahirkan Kantianisme. Immanuel Kant berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang kritis). Untuk itulah, ia menulis tiga bukunya yang disebut “kritik”, yaitu Kritik der Reinen Vernunft Reason atau kritik atas rasio murni (1781), Kritik der Practischen Vernunft, atau kritik atas rasio praktis (1788) dan Kritik der Arteilskraft, atau kritik atas daya pertimbangan (1790). Menurut Kant, syarat dasar segala ilmu pengetahuan adalah (1) bersifat umum dan mutlak, dan (2) memberi pengetahuan yang baru.
  Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan aufklarung (pencerahan), yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pasa masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473-1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
  Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan pasti-alam, seperti yang telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti-alam itu telah mengajarkan kita, bahwa perlu sekali kita terlebih dahulu secara kritis meneliti pengenalan.

D.    Idealisme
              Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide, pikiran, dan akal (mind), atau jiwa (self), bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan akal sebagai hal primer (utama) dibandingkan dengan materi. Hal ini berlawanan dengan materialisme. Idealisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang berpandangan bahwa doktrin tentang realitas eksternal tidak dapat dipahami secara terpisah dari kesadaran manusia. Dengan kata lain kategori dan gagasan eksis di dalam ruang kesadaran manusia terlebih dahulu sebelum adanya pengalaman-pengalaman inderawi.
              Filsuf idealis pertama yang dikenal adalah Plato Ia berpandangan bahwa semua konsep eksis terpisah dari entitas materinya. Ini dapat dikatakan sebagai sumber dari pandangan idealisme radikal. Karya dan pandangan Plato memberikan garis demarkasi yang jelas antara pikiran-pikiran idealis dengan pandangan materialis. Aritoteles menjadi orang yang memberikan tantangan pemikiran bagi gagasan-gagasan idealis Plato. Aristoteles mendasarkan pemikiran filsafatnya berdasarkan materi dan fisik. (Hatmanto, 2012).
              Tokoh idealisme yang penting adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Tema filsafat Hegel adalah ide mutlak. Ia juga amat mementingkan dialektika, yang baginya bukan hanya metode tapi juga sistem.

E.    Positivisme
              Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisikanya ditolak. Positif berarti segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
              Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
              Auguste Comte (1798-1857) adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal dan juga orang yang mengenalkannya. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Cours de Philosophie Phositive, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika. Statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Titik tolak ajaran Comte adalah pendapatnya bahwa perkembangan manusia melalui tiga zaman, yakni zaman teologis, metafisis, dan positif. Menurutnya, perkembangan menurut tiga zaman ini merupakan hukum yang tetap. Kelanjutan ajaran Comte setelah tiga zaman adalah altruisme, yang diartikan sebagai penyerahan diri kepada keseluruhan masyarakat.
              Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.

F.     Materialisme
              Materialisme adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filsuf, seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya dan dihubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat bahwa benda tersusun dari sejumlah unsur. Ketika pertama muncul, paham tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar abad ke-19 paham materialisme ini berkembang di Barat. Walaupun sudah banyak dianut, teori ini masih banyak ditentang oleh para tokoh agama karena paham ini dianggap tidak mengakui adanya Tuhan dan dianggap tidak dapat melukiskan kenyataan.
              Namun, paham materialisme banyak ditentang oleh para tokoh agama karena terang-terangan tidak mengakui Tuhan. Seorang anti-materialisme bernama Friedrich Paulsen berkata “Kalau materialisme itu benar, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat diterangkan, termasuk bagaimana atom membentuk teori materialisme itu sendiri yaitu dapat berfikir dan berfilfasaf”. Ternyata hal itu sama sekali tak dapat diterangkan oleh kaum materialisme. Filsafat materialisme inilah yang mempengaruhi filosof alam dalam menyelidiki asal-usul kejadian alam ini. Di antara filosof-filosof alam tersebut adalah:
1.     Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah air.
2.     Anaximandros (610-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah apeiron, yaitu unsur yang tak terbatas.
3.     Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah udara.
4.     Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
5.     Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah atom-atom yang amat banyak dan halus.
              Tokoh penting lainnya dalam aliran materialisme adalah Karl Marx (1818-1883) dengan pahamnya marxisme yang berdasarkan pada materialisme.
G.    Pragmatisme
              Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asalkan hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi dan kebenaran mistis bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain.
              Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
              Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. William James (1842-1910 M) lahir di New York. Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902), dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth (Arti Kebenaran), James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal.
              Sekalipun bekerja terlepas dari William James, tetapi John Dewey (1859-1952) menghasilkan pemikiran yang mirip dengan gagasan James. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan instrumentalisme. Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.


DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. (2011). Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Rosda.

Hatmanto, Endro Dwi & JatiSuryanto. (2010). Aliran-Aliran Filsafat Ilmu, Macam-Macam Aliran Filsafat Ilmu. http://endro.staff.umy.ac.id/?p=87. Diakses tanggal 28 September 2012.

Kattsoff, Louis O. (2004). Pengantar Filsafat (alih bahasa oleh Soejono Soemargono). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Praja, Juhaya S., Prof. Dr. (2010). Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.

Suriasumantri, Jujun S. (2007). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad, Prof. Dr. (2012). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Rosda.

Minggu, 23 September 2012

PROFESIONALISME OLAH PIKIR DALAM FILSAFAT


PROFESIONALISME OLAH PIKIR DALAM FILSAFAT
(Refleksi Mata Kuliah Filsafat Ilmu)
Hari, Tanggal      : Senin, 17 September 2012.
Dosen                   : Dr. Marsigit, M.A.

Oleh:
Tantan Sutandi Nugraha
NIM 12709259013
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika P2TK Dikdas
Universitas Negeri Yogyakarta

Setiap orang memiliki ruang dan waktu yang berbeda dengan ruang dan waktu yang dimiliki orang lain. Bahkan seseorang pun memiliki ruang dan waktu yang senantiasa berbeda-beda (berganti-ganti). Bumi juga menempati ruang dan waktu yang terus berbeda karena terus bergerak (rotasi dan revolusi). Karenanya, setiap waktu adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan.
Kekuasaan dapat berarti luas, bisa berarti sebagai power dalam bidang politik (jabatan) atau uang. Filsafat bukan hanya olah pikir dalam orang biasa (common sense) tapi bersifat profesional yakni memiliki kesadaran multi dimensinya sebuah ide. Jika dilihat dari sejarah ide (misalnya zaman Yunani Kuno), jenis filsafat (misalnya filsafat umum, matematika, pendidikan) dapat dilihat cirinya jika ia dikenakan pada objek dan metodenya. Misalnya, filsafat politik memiliki objek kekuasaan dan metodenya adalah mempelajari bagaimana cara memperoleh kekuasaan, sedangkan filsafat matematika memiliki objek matematika dengan metode yang bermacam-macam. Secara umum, filsafat umum memiliki metode yang berbeda baik dan bersifat universal (hermenitika). Filsafat bersifat hidup dengan metode yang hidup juga, sehingga kadang-kadang ada kondisi yang kurang disenangi (kurang sehat), yang bersifat multidimensi relatif sampai absolut. 
Sejarah perkembangan matematika dikenal di Babilonia dan Mesopotamia berdasarkan artefak yang ditemukan. Di daerah sungai Eufrat dan Tigris ditemukan lempengan-lempengan yang ditulisi berbagai karakter. Sedangkan sumber filsafat yang paling tua ditemukan di Yunani, misalnya pemikiran akan demokrasi pada zaman Plato, negara yang ideal, dan sebagainya.
Separuh pemikiran adalah logika dan separuh lagi adalah pengalaman. Matematika (murni) hanya separuh dari hidup karena bersifat formal dan hanya berisi konsistensi (tidak kontradiksi) dengan apapun yang telah didefinisikan. Namun, dari sisi pengalaman, justru unsur dasar matematika adalah kontradiksi.
Filsafat merupakan manajemen ruang dan waktu. Sesuatu yang cocok bagi seseorang belum tentu cocok dan baik bagi orang lain dalam situasi yang berbeda. Dengan kata lain, filsafat peka dengan siapa dan kapan. Selain itu harus harmoni (seimbang).

Pertanyaan:
1.     Bagaimana kedudukan dan hubungan filsafat pendidikan dan filsafat matematika untuk mewujudkan kualitas pembelajaran matematika yang efektif dan menyenangkan?
2.     Bagaimana peranan pengalaman dalam mengkonstruksi sebuah pengetahuan dan filsafat?


Minggu, 16 September 2012

Keberadaan Ada (Refleksi Mata Kuliah Filsafat Ilmu)

KEBERADAAN ADA
(Refleksi Mata Kuliah Filsafat Ilmu)
Hari, Tanggal : Senin, 10 September 2012.
Dosen             : Dr. Marsigit, M.A.

Oleh:
Tantan Sutandi Nugraha
NIM 12709259013
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika P2TK Dikdas
Universitas Negeri Yogyakarta



Nilai-nilai religius memegang peran yang penting. Ini di antaranya digunakan untuk pengendalian pikiran. Misalnya, metodologi dalam berdoa (bagaimana supaya khusu, dan sebagainya) sudah menjadi persoalan sejak dahulu. Untuk dapat berdoa dengan khusu harus dibimbing oleh guru spiritual.
Ada adalah hal yang memiliki dimensi. Ada erat kaitannya dengan proses berpikir. Seseorang dikatakan eksis (ada) jika ia telah berpikir. Misalnya, siswa dikatakan berada di kelas saat mereka sungguh-sungguh berpikir, dan tugas gurulah untuk menjadikannya benar-benar ada. Berpikir sebagai suatu proses dapat dipahami melalui pengertian berpikir menurut Plato, Aristoteles, Immanuel Khan, dan sebagainya. Saat pikiran kita tidak sejalan dengan yang lain, maka kita dapat dikatakan tidak ada. Jika tidak ada, maka sifat-sifat akan tereliminasi. 
Pemahaman mengenai ada (atau sesuatu yang mungkin ada) memerlukan tiga aspek berikut.
(1) Ontologi; yakni pembahasan mengenai hakikat pengetahuan.
(2) Epistemologi; yakni pembahasan mengenai metode dalam mendapatkan pengetahuan.
(3) Aksiologi; yakni pembahasan mengenai nilai-nilai moral dalam pengetahuan.
Matematika memiliki prinsip yang khas. Objek dari matematika adalah benda pikir, yang dapat diperoleh dengan cara abstraksi dan idealisasi. Abstraksi adalah mengambil sifat yang diperlukan saja, sedangkan idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada. Setiap saat kita tidak lepas dari abstraksi, yakni memilih atau menyederhanakan. Proses memilih mengandung eliminasi, yakni menghilangkan hal-hal yang tidak diperlukan.
Sebenarnya, matematika bukanlah ilmu. Ia hanyalah konsistensi dalam pikiran yang berisi pengandaian, pencarian teorema, dan seterusnya. Namun, konsistensi inilah hal yang penting dalam matematika, khususnya bagi matematikawan atau peneliti matematika.